:: Balas Dendam Sejarah :: Hidup ini berat. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Saya selalu takut menuliskan satu kalimat yang akan meracuni pikiran banyak orang. Tetapi hari ini saya ingin mengalahkan semua ketakutan itu. Saya ingin menuliskan sesuatu yang paling saya takuti untuk saya tuliskan: Sebuah pembalasan. Ini untuk semua orang yang pernah merasakan sakitnya diremehkan, diinjak-injak, dikucilkan dan dibuang. Bayangkanlah sebuah tulisan yang didediksiakan untuk penulisnya sendiri. Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri. Saya tumbuh dengan sebuah ingatan tentang kemarahan. Suatu hari di tahun 1995, seorang laki-laki datang ke rumah saya dengan kepal tangan dan amarah. Waktu itu hanya ada ibu, saya dan adik di rumah. Lelaki berumur 40 tahunan itu mencari ayah. Dia menggebrak meja dan membentak ibu. Ayah harus segera membayar utang hari itu juga. Detik itu juga. Ibu tidak tahu apa-apa. Saya hanya terdiam menyaksikan ibu dicaci-maki seperti binatang. Adik menangis di bawah meja makan. Sejak saat itu, hati saya terluka. Sakit hati menjadi sesuatu yang tak bisa saya hapus dari ingatan dan perasaan. Usia saya baru sembilan tahun ketika semua itu terjadi. Sejak saat itu, saya menjadi anak laki-laki yang hati dan pikirannya dipenuhi dendam! Beberapa bulan sebelum kejadian itu, usaha ayah saya bangkrut. Ia ditipu rekan bisnisnya yang kabur membawa hampir seluruh uang miliknya. Belum selesai, hidup yang berat menyisakan banyak sekali utang yang harus dia bayarkan. Kami kehilangan rumah, kendaraan, dan apa saja yang membanggakan. Saya tumbuh di tengah keluarga dengan sarapan pagi telur dadar dibagi dua. Nanti malam tidak tahu mau makan apa. Dan jika saya memanggil seorang pedagang yang kebetulan lewat di depan rumah, ibu tiba-tiba menjadi cemas. Ia akan berusaha mencari uang di sela-sela lipatan pakaian, atau di atas lemari, atau di mana saja, untuk berakhir menjadi sebuah permintaan maaf pada si pedagang. Maaf karena ia tak punya uang. Maaf karena anak lelakinya telah membuat sebuah kesalahan. Hari-hari berlalu dengan sangat lambat. Di sekolah, uang jajan saya salah satu yang paling sedikit. Sedikit sekali sehingga habis hanya dibelikan teh manis panas, sebuah gorengan, dan ongkos angkutan pulang-pergi. Suatu hari, saya ditabrak motor. Tulang belikat dan beberapa tulang rusuk saya retak. Hanya beberapa jam di rumah sakit, ayah dan ibu memutuskan untuk merawat saya di rumah. Tentu saja, saya harus absen dari sekolah. Empat hari setelah kejadian itu, seorang teman yang juga tetangga saya memberi tahu bahwa keesokan harinya guru dan teman-teman akan menjenguk saya ke rumah. Tak ingin mereka mendatangi rumah saya, hari berikutnya saya sudah hadir di sekolah dengan tubuh dibalut banyak sekali perban. Sudah sembuh? Tanya guru saya. Saya mengangguk perlahan. Di dalam hati, saya tak ingin mereka mengetahui rumah saya. Rumah saya jelek. Hidup ini berat. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Dengan semua dendam yang tertanam dalam hati, saya selalu tahu bahwa saya harus melakukan sesuatu untuk membalaskan semuanya. Saya rajin belajar bukan karena ingin berprestasi, tetapi saya butuh kebahagiaan dan kebanggaan-kebanggan untuk mewarnai hidup saya. Di SD, saya selalu ranking satu dari kelas satu hingga kelas enam, semua catur wulan. Barangkali bukan karena saya begitu pandai, tetapi karena saya memerlukan cara lain untuk menyembunyikan persoalan dan kemalangan-kemalangan yang saya hadapi. Tahun-tahun berlalu, saya menikmati balas dendam semacam itu. Saya bergerilya dari lomba ke lomba. Saya suka hadiah dan pujian. Dengan semua itu, saya bisa melupakan sakit hati hebat yang terus ada dalam hati. Hingga lomba-lomba memberi saya hal lainnya: Uang dan kemewahan. Dari semua lomba yang pernah saya ikuti. Lomba menulis adalah yang paling mudah dilakukan. Selain karena saya bisa melakukannya di mana saja, hadiah-hadiah yang ditawarkan juga sangat besar. Di kelas tiga SMP, saya memenangi lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional, juga terpilih menjadi salah satu penulis esai terbaik UNICEF. Saya tidak bangga pada apa yang saya capai. Saya suka hadiah-hadiahnya. Di usia yang sangat muda, saya sudah punya uang jutaan rupiah. Saya traktir teman-teman satu sekolah. Lengkap dengan guru dan kepala sekolah. Saya mulai menikmati semuanya. Di kelas tiga SMA, saya memenangkan MTQ tingkat provinsi dan nasional. Juara satu untuk kategori karya tulis kandungan Al-Quran. Dari hadiah keduanya, saya bisa menabung hingga 100 juta rupiah. Di tahun-tahun yang sama, saya menerbitkan buku-buku pertama saya. Tentu saja, di perguruan tinggi, saya tiba-tiba menjadi mahasiswa kaya raya—dengan hasil keringat sendiri. Di kampus, saya belajar berwirausaha. Untuk pengertian yang baik, saya ‘menjual’ gagasan-gagasan saya. Tujuan saya hanya satu waktu itu. Saya ingin membahagiakan keluarga saya. Bayang-bayang masa kecil saya tentang ibu yang menangis, ayah yang murung, adik yang ketakutan selalu menyertai hari-hari saya. Saya ingin mengobati luka-luka itu, yang terus berdarah di hati saya. Hidup ini berat. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Hari ini, usia saya 28 tahun. Orang-orang memuji saya untuk hal-hal yang telah saya raih: Buku-buku yang saya tulis, berbagai prestasi akademik, penghargaan-penghargaan, perusahaan yang yang saya jalankan bersama istri saya. Mereka bilang hidup saya enak, mereka bilang saya sangat beruntung. Tetapi mereka tak pernah tahu hari-hari saya yang sesungguhnya, mereka tak pernah menghitung tetes keringat dari kerja kerasa saya… Barangkali tersebab luka, saya selalu punya tujuan untuk sembuh. Barangkali tersebab dendam, saya selalu punya keinginan untuk membalaskannya. Saya selalu belum bahagia, saya selalu belum sukses, saya selalu belum selesai dengan semua yang saya usahakan… Saya selalu membelum. Seringkali saya ingin mendatangi orang-orang yang pernah membuat luka dalam hati saya. Seringkali saya ingin melemparkan kesombongan ke wajah orang-orang yang pernah meremehkan, menginjak-ingjak dan mencaci maki saya. Tetapi setiap kali keingin itu datang, saya selalu berusaha mengurungkannya. Barangkali tersebab nasib yang buruk, atau buruk sekali, kita jadi punya kesempatan untuk menemukan nasib yang baik. Barangkali tersebab orang-orang yang melemparkan batu bata kepada kita, kita jadi punya bahan untuk membangun sebuah gedung! Maka untuk siapa saja yang hari ini tengah berada dalam hidup yang berat, penuh luka dan nestapa. Tenang saja: Hidup ini memang berat. Tetaplah berusaha untuk menemukan kebahagiaan-kebahagiaan lainnya. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Untuk Fahd kecil, you are the reason I made this writing. Please Like and Share !! Jika anda ingin beli berbagai produk kecantikan & kesehatan seperti baju pelangsing dengan harga murah dan terpercaya? Beli aja di sini!
Wednesday, December 16, 2015
Jual Grosir Ecer Harga Termurah | :: Balas Dendam Sejarah :: Hidup ini berat. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Saya selalu takut menuliskan satu kalimat yang akan meracuni pikiran banyak orang. Tetapi hari ini saya ingin mengalahkan semua ketakutan itu. Saya ingin menuliskan sesuatu yang paling saya takuti untuk saya tuliskan: Sebuah pembalasan. Ini untuk semua orang yang pernah merasakan sakitnya diremehkan, diinjak-injak, dikucilkan dan dibuang. Bayangkanlah sebuah tulisan yang didediksiakan untuk penulisnya sendiri. Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri. Saya tumbuh dengan sebuah ingatan tentang kemarahan. Suatu hari di tahun 1995, seorang laki-laki datang ke rumah saya dengan kepal tangan dan amarah. Waktu itu hanya ada ibu, saya dan adik di rumah. Lelaki berumur 40 tahunan itu mencari ayah. Dia menggebrak meja dan membentak ibu. Ayah harus segera membayar utang hari itu juga. Detik itu juga. Ibu tidak tahu apa-apa. Saya hanya terdiam menyaksikan ibu dicaci-maki seperti binatang. Adik menangis di bawah meja makan. Sejak saat itu, hati saya terluka. Sakit hati menjadi sesuatu yang tak bisa saya hapus dari ingatan dan perasaan. Usia saya baru sembilan tahun ketika semua itu terjadi. Sejak saat itu, saya menjadi anak laki-laki yang hati dan pikirannya dipenuhi dendam! Beberapa bulan sebelum kejadian itu, usaha ayah saya bangkrut. Ia ditipu rekan bisnisnya yang kabur membawa hampir seluruh uang miliknya. Belum selesai, hidup yang berat menyisakan banyak sekali utang yang harus dia bayarkan. Kami kehilangan rumah, kendaraan, dan apa saja yang membanggakan. Saya tumbuh di tengah keluarga dengan sarapan pagi telur dadar dibagi dua. Nanti malam tidak tahu mau makan apa. Dan jika saya memanggil seorang pedagang yang kebetulan lewat di depan rumah, ibu tiba-tiba menjadi cemas. Ia akan berusaha mencari uang di sela-sela lipatan pakaian, atau di atas lemari, atau di mana saja, untuk berakhir menjadi sebuah permintaan maaf pada si pedagang. Maaf karena ia tak punya uang. Maaf karena anak lelakinya telah membuat sebuah kesalahan. Hari-hari berlalu dengan sangat lambat. Di sekolah, uang jajan saya salah satu yang paling sedikit. Sedikit sekali sehingga habis hanya dibelikan teh manis panas, sebuah gorengan, dan ongkos angkutan pulang-pergi. Suatu hari, saya ditabrak motor. Tulang belikat dan beberapa tulang rusuk saya retak. Hanya beberapa jam di rumah sakit, ayah dan ibu memutuskan untuk merawat saya di rumah. Tentu saja, saya harus absen dari sekolah. Empat hari setelah kejadian itu, seorang teman yang juga tetangga saya memberi tahu bahwa keesokan harinya guru dan teman-teman akan menjenguk saya ke rumah. Tak ingin mereka mendatangi rumah saya, hari berikutnya saya sudah hadir di sekolah dengan tubuh dibalut banyak sekali perban. Sudah sembuh? Tanya guru saya. Saya mengangguk perlahan. Di dalam hati, saya tak ingin mereka mengetahui rumah saya. Rumah saya jelek. Hidup ini berat. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Dengan semua dendam yang tertanam dalam hati, saya selalu tahu bahwa saya harus melakukan sesuatu untuk membalaskan semuanya. Saya rajin belajar bukan karena ingin berprestasi, tetapi saya butuh kebahagiaan dan kebanggaan-kebanggan untuk mewarnai hidup saya. Di SD, saya selalu ranking satu dari kelas satu hingga kelas enam, semua catur wulan. Barangkali bukan karena saya begitu pandai, tetapi karena saya memerlukan cara lain untuk menyembunyikan persoalan dan kemalangan-kemalangan yang saya hadapi. Tahun-tahun berlalu, saya menikmati balas dendam semacam itu. Saya bergerilya dari lomba ke lomba. Saya suka hadiah dan pujian. Dengan semua itu, saya bisa melupakan sakit hati hebat yang terus ada dalam hati. Hingga lomba-lomba memberi saya hal lainnya: Uang dan kemewahan. Dari semua lomba yang pernah saya ikuti. Lomba menulis adalah yang paling mudah dilakukan. Selain karena saya bisa melakukannya di mana saja, hadiah-hadiah yang ditawarkan juga sangat besar. Di kelas tiga SMP, saya memenangi lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional, juga terpilih menjadi salah satu penulis esai terbaik UNICEF. Saya tidak bangga pada apa yang saya capai. Saya suka hadiah-hadiahnya. Di usia yang sangat muda, saya sudah punya uang jutaan rupiah. Saya traktir teman-teman satu sekolah. Lengkap dengan guru dan kepala sekolah. Saya mulai menikmati semuanya. Di kelas tiga SMA, saya memenangkan MTQ tingkat provinsi dan nasional. Juara satu untuk kategori karya tulis kandungan Al-Quran. Dari hadiah keduanya, saya bisa menabung hingga 100 juta rupiah. Di tahun-tahun yang sama, saya menerbitkan buku-buku pertama saya. Tentu saja, di perguruan tinggi, saya tiba-tiba menjadi mahasiswa kaya raya—dengan hasil keringat sendiri. Di kampus, saya belajar berwirausaha. Untuk pengertian yang baik, saya ‘menjual’ gagasan-gagasan saya. Tujuan saya hanya satu waktu itu. Saya ingin membahagiakan keluarga saya. Bayang-bayang masa kecil saya tentang ibu yang menangis, ayah yang murung, adik yang ketakutan selalu menyertai hari-hari saya. Saya ingin mengobati luka-luka itu, yang terus berdarah di hati saya. Hidup ini berat. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Hari ini, usia saya 28 tahun. Orang-orang memuji saya untuk hal-hal yang telah saya raih: Buku-buku yang saya tulis, berbagai prestasi akademik, penghargaan-penghargaan, perusahaan yang yang saya jalankan bersama istri saya. Mereka bilang hidup saya enak, mereka bilang saya sangat beruntung. Tetapi mereka tak pernah tahu hari-hari saya yang sesungguhnya, mereka tak pernah menghitung tetes keringat dari kerja kerasa saya… Barangkali tersebab luka, saya selalu punya tujuan untuk sembuh. Barangkali tersebab dendam, saya selalu punya keinginan untuk membalaskannya. Saya selalu belum bahagia, saya selalu belum sukses, saya selalu belum selesai dengan semua yang saya usahakan… Saya selalu membelum. Seringkali saya ingin mendatangi orang-orang yang pernah membuat luka dalam hati saya. Seringkali saya ingin melemparkan kesombongan ke wajah orang-orang yang pernah meremehkan, menginjak-ingjak dan mencaci maki saya. Tetapi setiap kali keingin itu datang, saya selalu berusaha mengurungkannya. Barangkali tersebab nasib yang buruk, atau buruk sekali, kita jadi punya kesempatan untuk menemukan nasib yang baik. Barangkali tersebab orang-orang yang melemparkan batu bata kepada kita, kita jadi punya bahan untuk membangun sebuah gedung! Maka untuk siapa saja yang hari ini tengah berada dalam hidup yang berat, penuh luka dan nestapa. Tenang saja: Hidup ini memang berat. Tetaplah berusaha untuk menemukan kebahagiaan-kebahagiaan lainnya. Balas dendam adalah hal yang menyenangkan. Untuk Fahd kecil, you are the reason I made this writing. Please Like and Share !!
Labels:
Elumor,
Murah,
Pelangsing
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment