:: Aku telah Durhaka pada Anakku :: Prestasi anak pasti membuat orang tua bangga. Tapi bukankah itu sama naifnya-atau tololnya?-dengan anak yang membangga-banggakan orang tuanya, padahal dia sendiri sesungguhnya bukanlah siapa-siapa? Sekadar berbagi kerisauan hati… “Riqueza Raihan Nainggolan!” kata pembawa acara, lantang, disambut gemuruh tepukan ratusan murid SD Wahidin Medan, dan para orang tua murid yang menyaksikan pembagian rapor dan pengumuman peringkat di sekolah itu. Echa, bidadari kecilku itu, dituntun wali kelasnya yang tampak sumringah, melangkah ke depan. Dia peringkat 2 paralel di seluruh kelas 1, dari 1-A sampai 1-M. Tak bisa kucegah hatiku dari membuncah oleh rasa bangga yang meluap melimpah ruah. Tak sadar aku bertepuk tangan, lebih keras, lebih bersemangat, lebih satu menit!, lebih lama dari siapapun yang ada di situ. Para orang tua dan guru-guru di dekatku segera tahu, aku ayah anak yang dipanggil ke depan itu. Rasa bangga itu makin menjadi-jadi. Ingin rasanya menegaskan kepada mereka yang sedang melihat ke arahku, “Ya, aku ayah anak itu, aku ayahnya!” Tingkat kebanggan itu terus naik, hingga kepalaku rasanya mau pecah karena tak sanggup lagi menampung volumenya, ketika kudengar bisik-bisik di sebelahku, bahwa di sekolah yang muridnya dominan suku Tionghoa itu, sangat jarang siswa dari suku lain menjadi pemuncak peringkat. Tapi tunggu dulu! Echa sendiri kok malah biasa saja ya, ekspresinya? Bahkan ketika melihat ayahnya sibuk jeprat-jepret dengan ponsel, persis wartawan infotainment membidik Manohara, wajahnya tetap datar, sedatar permukaan danau menjelang pagi. Lho? Malah dari caranya melirik aksiku, dia seperti berkata dalam hati, “Dasar wartawan!” Jadi ingat aku, tiap menonton berita di televisi, ketika para jurnalis mengerumuni atau mengejar-ngejar sumber berita yang kadang sampai kesulitan bergerak, Echa pernah menyatakan keheranannya. “Wartawan kok gitu, Pak? Kerja Bapak gitu juga ya?” Echa tetap tanpa ekspresi. Aku pun menghentikan aksi ala paparazzi. Aku jadi berpikir sendiri, yang berhasil dapat nilai tinggi itu aku apa Echa sih? Kok aku yang sibuk tak karu-karuan, Echa malah biasa saja, seperti merasa tak ada yang pantas dibanggakan, atau dirayakan dengan cara yang berlebihan. Malah cenderung seperti menahan beban. Mudah-mudahan cuma perasaanku saja. Setelah berhasil mengambil empat foto, dua di antaranya buram—tahu sendiri efek delay foto pakai ponsel, plus fakta bahwa yang ngambil foto malah lebih banyak gaya dari yang difoto—aku berangsur mundur. Kebanggan tadi pun mulai mengendur, kemudian tuntas terkubur. Perlahan, aku merasa seluruh indera mulai kehilangan koneksi dengan realitas di sekitar. Suara pembawa acara mengumumkan juara paralel dari kelas lainnya pun mulai terdengar samar. “Calvin Wijaya, Steven Ongso, Patrick Wang, Eveline Lucky…” (Tentu saja saat itu aku tak ingat persis nama-nama itu. Aku mengetahuinya dari daftar yang dibagikan kemudian). Di tengah kerumunan dan sorak-sorai yang makin ramai itu, aku malah terasing dalam sunyi pikiranku sendiri. Aku berdiri, bersandar pada tembok yang ditempeli poster pengumuman penerimaan murid baru. Apa yang sedang kubanggakan dari prestasi gadis kecil itu? Pada bagian mana peran pentingku dalam pencapaian prestasinya, sehingga aku bisa mengambil porsi terbesar dalam perayaannya? Bukankah mungkin saja, dalam ekspresi datar itu Echasedang mengirim sebuah pesan. “Lihatlah Ayah, aku tetap bisa berprestasi, dengan semua kekeliruan, kesalahan, dan ketidakmampuanmu sebagai orang tua. Ayo, banggalah Ayah, atas kerja kerasku, berlagaklah sebagai pahlawan, walau akulah yang letih berperang. Pebasket yang bertarung, tapi cheerleaders yang meraung.” Satu per satu arsip kedurhakaanku sebagai orang tua kepadanya, mengalir bagai slide dalam kepala, gambar ingatan dengan resolusi tinggi. Bahwa satu-satunya hal yang berhasil “kuajarkan” padanya adalah, “ucapan tidak perlu sama dengan perbuatan”. ***** Bosan dia mendengar, juga dua adiknya, Zaid dan Juan, bahwa yang paling penting bagiku, ayah mereka, adalah kebahagiaan keluarga. Tapi lebih bosan lagi mereka menerima kenyataan, betapa dengan gampangnya aku membatalkan rencana jalan-jalan bersama mereka ke mall atau ke manalah itu, karena mendadak ada penugasan atau rapat penting di kantor. Bapak kerja mati-matian gini, kan demi kalian juga! Tiap hari mereka kukuliahi—padahal Echa baru kelas 1 SD, Zaid baru TK, Juan malah masih pipis sembarangan, tapi itu tadi, sudah dipaksa mengikuti perkuliahan, yang menjemukan karena hanya berisi pengulangan—bahwa dalam kehidupan ini, uang bukan segalanya. Bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari materi. Bahwa merekalah sumber kebahagiaanku yang sejati, dan kepentingan mereka berada di atas segalanya. Tapi ketika mereka mencoba menggelayut mesra, atau bertingkah lucu di depanku dalam usahanya meraih perhatianku, atau menunjukkan hasil lukisan pemandangan dengan bukit-bukit berwarna pink, dan awan berwarna ungu, aku akan merasa sangat terganggu. “Bapak sibuk nih, ada kerjaan penting. Sana main di luar, kenapa?” Biasanya mereka belum beranjak. Masih menggelayut, menirukan dialog dalam sinetron Ronaldowati, atau membentangkan lukisan “surealis” tadi, aku menggelengkan kepala, dan nada suara langsung meningkat satu oktaf. “Kalian ini memang paling susah dibilangin. Nih, sana jajan di warung!” Aku tak pernah tahu, lebih tepatnya tak mau tahu, bukan uang itu yang mereka minta, tapi perhatianku. Setelah menerima uang lima ribuan itu, mereka tak pernah pergi ke warung. Uang itu di masukkan ke dalam celengan plastik. kembali bermain di kamarnya, atau mewarnai lagi lukisan. Bukit-bukit pink itu kini ditimpa warna merah tua, langit di atasnya berwarna makin gelap. Seperti senja yang menangis. Itu baru mata kuliah umum. Ada pula mata kuliah dasar keahlian, tentang pentingnya menghidupkan kasih sayang, dengan berlaku lemah lembut kepada sesama anggota keluarga. Saya akan sigap menegur Echa, untuk tidak kasar kepada adiknya. Bila perlu dengan membentak. Dalam kuliah tentang kasih dan kelembutan ini, aku tidak jadi dosen sendirian. Ibu mereka juga seorang guru besar soal ini. Tapi di depan mereka, aku dan istri malah suka berlomba, siapa duluan mencapai nada suara tertinggi ketika berdebat. Mereka bahkan lebih heran lagi, ketika aku malah berbicara sangat sopan dengan tamu yang sesekali datang ke rumah. Istriku juga bukan main lembutnya, bertegur sapa dengan orang asing, misalnya ketika sama-sama antri di kasir swalayan. “Ngga boleh marah-marahan, harus mau saling memaafkan. Allah ngga suka sama orang yang memutus silaturahmi.” Tapi di depan mereka aku dan istri sering tak saling tegur sapa, dari pagi sampai pagi lagi. Mukaku cemberut, wajah istriku merengut. Mukaku yang dari sononya memang sudah kusut, jadi mirip jeruk purut yang sudah butut. Membayangkannya pun, wajah Anda dijamin keriput. Di meja makan saat sarapan, tak juga tercapai genjatan senjata atau perdamaian. Usaha Echa melakukan mediasi, tentu saja dengan teknik psikologi anak kelas 1 SD, sekadar bertanya mengapa kami tak ada yang bicara, malah diganjar bentakan. “Udah, makan yang betul. Jangan ngomong aja!” “Jangan bohong, itu dosa. Nanti Tuhan marah.” Tapi bahkan bocah-bocah ingusan itu pun bisa merasakan ada yang janggal dalam cerita dan pengakuanku. Aku sendiri kadang sampai lupa, kapan dan tentang apa saja aku berbohong kepada mereka, atau ibunya. Di sisi lain–mungkin berkaitan dengan tradisi dusta tadi–mereka juga menyaksikan bagaimana ibunya makin mirip agen KGB di masa Lenin, mengawasi gerak-gerik ayah mereka, seolah aku ini antek kapitalis yang ingin menghancurkan Kremlin. Begitu suaminya pulang ke rumah, tak akan ditanya sudah makan apa belum, atau memeriksa apakah organ tubuhnya masih lengkap. Si agen dengan sigap akan menyita ponselku, mengecek siapa tau ada sms mesra dari wanita jalang, yang mungkin lupa terhapus. Ketika hasilnya nihil, dia sudah punya prosedur tetap, check list lengkap. Berikutnya, daftar panggilan terakhir, kapan, dan berapa lama durasinya. Dari dia aku tau, daftar panggilan tetap bisa diketahui, walaupun sudah dihapus. Begitu juga sms, tetap ada datanya. Hanya content atau isi SMS-nya tidak utuh, hanya beberapa karakter pertama. Jadi, jika SMS itu diawali dengan kata, “Sayang”, itu sudah cukup untuk mengundang petaka. Hebatnya, ketika tak menemukan hal mencurigakan, bukannya senang sang suami ternyata terjaga dari kesesatan. Kadang malah jadi terlihat seperti berpikir keras lagi. Persis seperti jaksa yang putar otak untuk tetap menjerat terdakwa, yang eksepsinya baru saja dikabulkan hakim. Bukan untuk menemukan kebenaran dan keadilan, tetapi membuktikan dia memang salah, seperti kuperkirakan. Dan si Agen merangkap jaksa itulah, yang juga nyambi jadi ustadzah, memberi ceramah tentang pentingnya rasa percaya. Putrinya, yang seperti anak seusianya di zaman serbadigital ini, dalam usia dini sudah dicekoki sinetron picisan di televisi, memang sudah mulai bertanya apa itu cinta. “Cinta itu berarti harus percaya, nggak boleh curiga. Juga ngga boleh bohong sama yang kita cintai. Jadi, cinta itu kejujuran sama kepercayaan, Cha”. Untunglah Echa tidak menginterupsi ceramah itu, menyimpulkan kedua orang tuanya ternyata tidak saling mencintai. “Kan sering bohong dan saling curiga?” Dan daftar memalukan ini bisa sangat panjang jika diteruskan… Entahlah pada keluarga lain, tetapi di rumah kami, itulah yang kerap terjadi. Anak-anak itu, bocah polos titipan surga, tak pernah bisa mengerti, mengapa ucapan kami ke kanan tindakan kami ke kiri. Mereka sering bingung, karena dituntut untuk berpikir seperti orang dewasa, ketika kami menyemprotnya dengan kata-kata semacam, “Kok susah ‘kali sih ngertinya kalian?” Padahal kamilah, ayah dan ibunya, yang justru tak mau mengerti mereka masih bocah, dan tak mungkin dipaksa punya logika seperti orang tuanya. Seakan kami tak pernah menjadi anak-anak seperti mereka. Oiya, ada satu lagi mata kuliah keahlian: Sejarah! Mereka harus betah mendengar kisah kami tentang susahnya masa lalu, jalan kaki ke sekolah, bantu ibu kerja di sawah, makan tanpa lauk, dst. “Kalian sekarang serba enak, sekolah diantar jemput, di rumah bisa main PS!” Mereka adalah manusia hari esok, tapi kami sesaki jiwanya dengan kisah-kisah kemarin. ***** Pengumuman peringkat itu sudah selesai. Proses mencaci-maki diri sendiri itu terpaksa kuakhiri. Echa mendekat, lirih menyampaikan permintaan maaf. “Echa udah belajar yang rajin, Pak, tapi ngga bisa ranking 1 juga. Bapak ngga marah kan?” Aku jadi sedih, sekaligus lega. Wajahnya yang tampak kurang bahagia itu ternyata karena merasa gagal jadi #1, bukan karena menyerapahi kedunguan orang tuanya. “Ya nggaklah, Kak. Bapak aja dulu cuma ranking 3”. “Lho, katanya dulu Bapak ranking 1 terus?” Ops, tuh kan aku sudah berbohong lagi, dan biar tidak dianggap berbohong, aku terpaksa berbohong sekali lagi. “Hehehe, nggak, bohong Bapak waktu itu. Cuma rangking 3 kok. Yuk, pulang dulu ke rumah, ganti baju. Makan-makan kita ke mall ya? Nanti kita cariin hadiah untuk Kakak. Kemarin minta tas Barbie ya? ” Reaksinya kemudian seperti mencopoti sendi-sendiku. “Jalan-jalan, Pak? Emangnya, Bapak ngga ada rapat penting di kantor? Nanti Bapak dimarahi lho gara-gara Echa! Kata Bapak, kantornya rugi besar kalau Bapak ngga ada?” Aku segera menjawab dengan tegas, lebih tegas dari Proklamasi 1945. “Mulai sekarang, dipecat pun ngga apa-apa, Nak. Bapak bisa cari pekerjaan lain, tapi tidak bidadari kecil lain.” Proklamasi yang hanya terucap di dalam hati, tentu saja. Tau sendiri susahnya cari kerja sekarang. “Nggak. Bapak udah permisi kok. Tadi pagi Bapak udah bilang, mau jalan-jalan sama anak Bapak yang jadi juara di sekolah. Bos Bapak senang kok, malah kirim salam dia sama Kakak. Kakak hebat katanya!” “Lho, tapi kan barusan juaranya diumumkan. Kok Bapak udah tau dari tadi pagi?” Aha! Aku lupa sedang berhadapan dengan juara paralel. OK. Kau boleh pintar, Nak, tapi jam terbang Bapak sudah tinggi. “Kan Bapak sudah tahu Kakak bakal juara, karena Bapak lihat Kakak rajin kali belajarnya.” Barangkali dia mau menjawab lagi, “Lho bukannya Bapak kemarin itu marah-marah terus, bilang Echa bakal tinggal kelas kalau belajarnya malas gitu?” Tapi dia memilih diam. “Kembangkan terus kebohonganmu, Pak. Yang penting aku bisa mencicipi sekeping waktumu, di tengah padatnya pekerjaanmu, banyaknya rapat yang mesti Bapak ikuti, dan kariermu yang terus melejit di kantor.” Karier dari Hongkong! Tangan mungilnya menggenggam tanganku, saat kami menuju tempat parkir. Kebanggaan itu mungkin harus kulepas karena memang bukan hakku, tetapi sebagai gantinya aku seperti menemukan sesuatu yang lebih penting, yang selama ini hilang, atau lebih tepatnya, tanpa sadar telah kusingkirkan. “Kau juara, Nak. Bapakmu malah tinggal kelas. Tapi ngga apa-apa. Bapak akan belajar lagi dari awal…” ***** Sambil nyetir, aku menghubungi istri, biar dia dan dua adik Echa siap-siap. “Kita makan-makan ya, Mak, Echa juara lho!” “Oiya? Siapa dulu dong Ibunya!” Speaker ponselku seperti mau retak dihantam suara penuh kebanggan itu. Memang berjodohlah kita. Naifnya klop! “Justru itu, tadi rupanya sudah disiapkan jadwal buat Ibunda Echa, untuk menyampaikan pidato sambutan, sekaligus pengarahan kepada para orang tua murid, bagaimana cara mendidik anak menjadi juara. Tapi karena Ibunda Echa ngga ada, terpaksa diganti dengan atraksi Barongsai.” “Sayang ya, Pak. Kalau gitu, Bapak cepatlah kemari, bawa perlengkapan. Mamak mau gelar konferensi pers!” “Oh, maaf, Bu, media kami ngga terbit besok, untuk menghormati keberhasilan Echa.” Di sebelahku, Echa tak mau ambil pusing dengan percakapan penuh ilusi, antara ayah dan ibunya. Bante kalianlah situ. Toh cakap ilusi masih lebih baik dari cakap emosi. Sepanjang jalan, dia masih saja memelototi daftar peringkat itu. Selisih tiga nilai saja! Ingin rasanya kuhibur dia. “Jangan sedih, Kak. Yang juara satu itu mungkin masih ada hubungan keluarga sama yang punya sekolah. Wajarlah dia juara!” Tapi tadi aku sudah berjanji, tidak mencekokinya racun lebih banyak lagi. Tak bisa mendidik, mbok ya jangan merusak. Tak bisa membantunya tumbuh, setidaknya jangan membuatnya rubuh. Di luar kulihat orang bersimbah peluh, ditampar matahari yang bersinar penuh. Hari sudah berlalu separuh. Please Like and Share !! Jika anda ingin beli berbagai produk kecantikan & kesehatan seperti baju pelangsing dengan harga murah dan terpercaya? Beli aja di sini!
Saturday, October 17, 2015
Jual Grosir Ecer Harga Termurah | :: Aku telah Durhaka pada Anakku :: Prestasi anak pasti membuat orang tua bangga. Tapi bukankah itu sama naifnya-atau tololnya?-dengan anak yang membangga-banggakan orang tuanya, padahal dia sendiri sesungguhnya bukanlah siapa-siapa? Sekadar berbagi kerisauan hati… “Riqueza Raihan Nainggolan!” kata pembawa acara, lantang, disambut gemuruh tepukan ratusan murid SD Wahidin Medan, dan para orang tua murid yang menyaksikan pembagian rapor dan pengumuman peringkat di sekolah itu. Echa, bidadari kecilku itu, dituntun wali kelasnya yang tampak sumringah, melangkah ke depan. Dia peringkat 2 paralel di seluruh kelas 1, dari 1-A sampai 1-M. Tak bisa kucegah hatiku dari membuncah oleh rasa bangga yang meluap melimpah ruah. Tak sadar aku bertepuk tangan, lebih keras, lebih bersemangat, lebih satu menit!, lebih lama dari siapapun yang ada di situ. Para orang tua dan guru-guru di dekatku segera tahu, aku ayah anak yang dipanggil ke depan itu. Rasa bangga itu makin menjadi-jadi. Ingin rasanya menegaskan kepada mereka yang sedang melihat ke arahku, “Ya, aku ayah anak itu, aku ayahnya!” Tingkat kebanggan itu terus naik, hingga kepalaku rasanya mau pecah karena tak sanggup lagi menampung volumenya, ketika kudengar bisik-bisik di sebelahku, bahwa di sekolah yang muridnya dominan suku Tionghoa itu, sangat jarang siswa dari suku lain menjadi pemuncak peringkat. Tapi tunggu dulu! Echa sendiri kok malah biasa saja ya, ekspresinya? Bahkan ketika melihat ayahnya sibuk jeprat-jepret dengan ponsel, persis wartawan infotainment membidik Manohara, wajahnya tetap datar, sedatar permukaan danau menjelang pagi. Lho? Malah dari caranya melirik aksiku, dia seperti berkata dalam hati, “Dasar wartawan!” Jadi ingat aku, tiap menonton berita di televisi, ketika para jurnalis mengerumuni atau mengejar-ngejar sumber berita yang kadang sampai kesulitan bergerak, Echa pernah menyatakan keheranannya. “Wartawan kok gitu, Pak? Kerja Bapak gitu juga ya?” Echa tetap tanpa ekspresi. Aku pun menghentikan aksi ala paparazzi. Aku jadi berpikir sendiri, yang berhasil dapat nilai tinggi itu aku apa Echa sih? Kok aku yang sibuk tak karu-karuan, Echa malah biasa saja, seperti merasa tak ada yang pantas dibanggakan, atau dirayakan dengan cara yang berlebihan. Malah cenderung seperti menahan beban. Mudah-mudahan cuma perasaanku saja. Setelah berhasil mengambil empat foto, dua di antaranya buram—tahu sendiri efek delay foto pakai ponsel, plus fakta bahwa yang ngambil foto malah lebih banyak gaya dari yang difoto—aku berangsur mundur. Kebanggan tadi pun mulai mengendur, kemudian tuntas terkubur. Perlahan, aku merasa seluruh indera mulai kehilangan koneksi dengan realitas di sekitar. Suara pembawa acara mengumumkan juara paralel dari kelas lainnya pun mulai terdengar samar. “Calvin Wijaya, Steven Ongso, Patrick Wang, Eveline Lucky…” (Tentu saja saat itu aku tak ingat persis nama-nama itu. Aku mengetahuinya dari daftar yang dibagikan kemudian). Di tengah kerumunan dan sorak-sorai yang makin ramai itu, aku malah terasing dalam sunyi pikiranku sendiri. Aku berdiri, bersandar pada tembok yang ditempeli poster pengumuman penerimaan murid baru. Apa yang sedang kubanggakan dari prestasi gadis kecil itu? Pada bagian mana peran pentingku dalam pencapaian prestasinya, sehingga aku bisa mengambil porsi terbesar dalam perayaannya? Bukankah mungkin saja, dalam ekspresi datar itu Echasedang mengirim sebuah pesan. “Lihatlah Ayah, aku tetap bisa berprestasi, dengan semua kekeliruan, kesalahan, dan ketidakmampuanmu sebagai orang tua. Ayo, banggalah Ayah, atas kerja kerasku, berlagaklah sebagai pahlawan, walau akulah yang letih berperang. Pebasket yang bertarung, tapi cheerleaders yang meraung.” Satu per satu arsip kedurhakaanku sebagai orang tua kepadanya, mengalir bagai slide dalam kepala, gambar ingatan dengan resolusi tinggi. Bahwa satu-satunya hal yang berhasil “kuajarkan” padanya adalah, “ucapan tidak perlu sama dengan perbuatan”. ***** Bosan dia mendengar, juga dua adiknya, Zaid dan Juan, bahwa yang paling penting bagiku, ayah mereka, adalah kebahagiaan keluarga. Tapi lebih bosan lagi mereka menerima kenyataan, betapa dengan gampangnya aku membatalkan rencana jalan-jalan bersama mereka ke mall atau ke manalah itu, karena mendadak ada penugasan atau rapat penting di kantor. Bapak kerja mati-matian gini, kan demi kalian juga! Tiap hari mereka kukuliahi—padahal Echa baru kelas 1 SD, Zaid baru TK, Juan malah masih pipis sembarangan, tapi itu tadi, sudah dipaksa mengikuti perkuliahan, yang menjemukan karena hanya berisi pengulangan—bahwa dalam kehidupan ini, uang bukan segalanya. Bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari materi. Bahwa merekalah sumber kebahagiaanku yang sejati, dan kepentingan mereka berada di atas segalanya. Tapi ketika mereka mencoba menggelayut mesra, atau bertingkah lucu di depanku dalam usahanya meraih perhatianku, atau menunjukkan hasil lukisan pemandangan dengan bukit-bukit berwarna pink, dan awan berwarna ungu, aku akan merasa sangat terganggu. “Bapak sibuk nih, ada kerjaan penting. Sana main di luar, kenapa?” Biasanya mereka belum beranjak. Masih menggelayut, menirukan dialog dalam sinetron Ronaldowati, atau membentangkan lukisan “surealis” tadi, aku menggelengkan kepala, dan nada suara langsung meningkat satu oktaf. “Kalian ini memang paling susah dibilangin. Nih, sana jajan di warung!” Aku tak pernah tahu, lebih tepatnya tak mau tahu, bukan uang itu yang mereka minta, tapi perhatianku. Setelah menerima uang lima ribuan itu, mereka tak pernah pergi ke warung. Uang itu di masukkan ke dalam celengan plastik. kembali bermain di kamarnya, atau mewarnai lagi lukisan. Bukit-bukit pink itu kini ditimpa warna merah tua, langit di atasnya berwarna makin gelap. Seperti senja yang menangis. Itu baru mata kuliah umum. Ada pula mata kuliah dasar keahlian, tentang pentingnya menghidupkan kasih sayang, dengan berlaku lemah lembut kepada sesama anggota keluarga. Saya akan sigap menegur Echa, untuk tidak kasar kepada adiknya. Bila perlu dengan membentak. Dalam kuliah tentang kasih dan kelembutan ini, aku tidak jadi dosen sendirian. Ibu mereka juga seorang guru besar soal ini. Tapi di depan mereka, aku dan istri malah suka berlomba, siapa duluan mencapai nada suara tertinggi ketika berdebat. Mereka bahkan lebih heran lagi, ketika aku malah berbicara sangat sopan dengan tamu yang sesekali datang ke rumah. Istriku juga bukan main lembutnya, bertegur sapa dengan orang asing, misalnya ketika sama-sama antri di kasir swalayan. “Ngga boleh marah-marahan, harus mau saling memaafkan. Allah ngga suka sama orang yang memutus silaturahmi.” Tapi di depan mereka aku dan istri sering tak saling tegur sapa, dari pagi sampai pagi lagi. Mukaku cemberut, wajah istriku merengut. Mukaku yang dari sononya memang sudah kusut, jadi mirip jeruk purut yang sudah butut. Membayangkannya pun, wajah Anda dijamin keriput. Di meja makan saat sarapan, tak juga tercapai genjatan senjata atau perdamaian. Usaha Echa melakukan mediasi, tentu saja dengan teknik psikologi anak kelas 1 SD, sekadar bertanya mengapa kami tak ada yang bicara, malah diganjar bentakan. “Udah, makan yang betul. Jangan ngomong aja!” “Jangan bohong, itu dosa. Nanti Tuhan marah.” Tapi bahkan bocah-bocah ingusan itu pun bisa merasakan ada yang janggal dalam cerita dan pengakuanku. Aku sendiri kadang sampai lupa, kapan dan tentang apa saja aku berbohong kepada mereka, atau ibunya. Di sisi lain–mungkin berkaitan dengan tradisi dusta tadi–mereka juga menyaksikan bagaimana ibunya makin mirip agen KGB di masa Lenin, mengawasi gerak-gerik ayah mereka, seolah aku ini antek kapitalis yang ingin menghancurkan Kremlin. Begitu suaminya pulang ke rumah, tak akan ditanya sudah makan apa belum, atau memeriksa apakah organ tubuhnya masih lengkap. Si agen dengan sigap akan menyita ponselku, mengecek siapa tau ada sms mesra dari wanita jalang, yang mungkin lupa terhapus. Ketika hasilnya nihil, dia sudah punya prosedur tetap, check list lengkap. Berikutnya, daftar panggilan terakhir, kapan, dan berapa lama durasinya. Dari dia aku tau, daftar panggilan tetap bisa diketahui, walaupun sudah dihapus. Begitu juga sms, tetap ada datanya. Hanya content atau isi SMS-nya tidak utuh, hanya beberapa karakter pertama. Jadi, jika SMS itu diawali dengan kata, “Sayang”, itu sudah cukup untuk mengundang petaka. Hebatnya, ketika tak menemukan hal mencurigakan, bukannya senang sang suami ternyata terjaga dari kesesatan. Kadang malah jadi terlihat seperti berpikir keras lagi. Persis seperti jaksa yang putar otak untuk tetap menjerat terdakwa, yang eksepsinya baru saja dikabulkan hakim. Bukan untuk menemukan kebenaran dan keadilan, tetapi membuktikan dia memang salah, seperti kuperkirakan. Dan si Agen merangkap jaksa itulah, yang juga nyambi jadi ustadzah, memberi ceramah tentang pentingnya rasa percaya. Putrinya, yang seperti anak seusianya di zaman serbadigital ini, dalam usia dini sudah dicekoki sinetron picisan di televisi, memang sudah mulai bertanya apa itu cinta. “Cinta itu berarti harus percaya, nggak boleh curiga. Juga ngga boleh bohong sama yang kita cintai. Jadi, cinta itu kejujuran sama kepercayaan, Cha”. Untunglah Echa tidak menginterupsi ceramah itu, menyimpulkan kedua orang tuanya ternyata tidak saling mencintai. “Kan sering bohong dan saling curiga?” Dan daftar memalukan ini bisa sangat panjang jika diteruskan… Entahlah pada keluarga lain, tetapi di rumah kami, itulah yang kerap terjadi. Anak-anak itu, bocah polos titipan surga, tak pernah bisa mengerti, mengapa ucapan kami ke kanan tindakan kami ke kiri. Mereka sering bingung, karena dituntut untuk berpikir seperti orang dewasa, ketika kami menyemprotnya dengan kata-kata semacam, “Kok susah ‘kali sih ngertinya kalian?” Padahal kamilah, ayah dan ibunya, yang justru tak mau mengerti mereka masih bocah, dan tak mungkin dipaksa punya logika seperti orang tuanya. Seakan kami tak pernah menjadi anak-anak seperti mereka. Oiya, ada satu lagi mata kuliah keahlian: Sejarah! Mereka harus betah mendengar kisah kami tentang susahnya masa lalu, jalan kaki ke sekolah, bantu ibu kerja di sawah, makan tanpa lauk, dst. “Kalian sekarang serba enak, sekolah diantar jemput, di rumah bisa main PS!” Mereka adalah manusia hari esok, tapi kami sesaki jiwanya dengan kisah-kisah kemarin. ***** Pengumuman peringkat itu sudah selesai. Proses mencaci-maki diri sendiri itu terpaksa kuakhiri. Echa mendekat, lirih menyampaikan permintaan maaf. “Echa udah belajar yang rajin, Pak, tapi ngga bisa ranking 1 juga. Bapak ngga marah kan?” Aku jadi sedih, sekaligus lega. Wajahnya yang tampak kurang bahagia itu ternyata karena merasa gagal jadi #1, bukan karena menyerapahi kedunguan orang tuanya. “Ya nggaklah, Kak. Bapak aja dulu cuma ranking 3”. “Lho, katanya dulu Bapak ranking 1 terus?” Ops, tuh kan aku sudah berbohong lagi, dan biar tidak dianggap berbohong, aku terpaksa berbohong sekali lagi. “Hehehe, nggak, bohong Bapak waktu itu. Cuma rangking 3 kok. Yuk, pulang dulu ke rumah, ganti baju. Makan-makan kita ke mall ya? Nanti kita cariin hadiah untuk Kakak. Kemarin minta tas Barbie ya? ” Reaksinya kemudian seperti mencopoti sendi-sendiku. “Jalan-jalan, Pak? Emangnya, Bapak ngga ada rapat penting di kantor? Nanti Bapak dimarahi lho gara-gara Echa! Kata Bapak, kantornya rugi besar kalau Bapak ngga ada?” Aku segera menjawab dengan tegas, lebih tegas dari Proklamasi 1945. “Mulai sekarang, dipecat pun ngga apa-apa, Nak. Bapak bisa cari pekerjaan lain, tapi tidak bidadari kecil lain.” Proklamasi yang hanya terucap di dalam hati, tentu saja. Tau sendiri susahnya cari kerja sekarang. “Nggak. Bapak udah permisi kok. Tadi pagi Bapak udah bilang, mau jalan-jalan sama anak Bapak yang jadi juara di sekolah. Bos Bapak senang kok, malah kirim salam dia sama Kakak. Kakak hebat katanya!” “Lho, tapi kan barusan juaranya diumumkan. Kok Bapak udah tau dari tadi pagi?” Aha! Aku lupa sedang berhadapan dengan juara paralel. OK. Kau boleh pintar, Nak, tapi jam terbang Bapak sudah tinggi. “Kan Bapak sudah tahu Kakak bakal juara, karena Bapak lihat Kakak rajin kali belajarnya.” Barangkali dia mau menjawab lagi, “Lho bukannya Bapak kemarin itu marah-marah terus, bilang Echa bakal tinggal kelas kalau belajarnya malas gitu?” Tapi dia memilih diam. “Kembangkan terus kebohonganmu, Pak. Yang penting aku bisa mencicipi sekeping waktumu, di tengah padatnya pekerjaanmu, banyaknya rapat yang mesti Bapak ikuti, dan kariermu yang terus melejit di kantor.” Karier dari Hongkong! Tangan mungilnya menggenggam tanganku, saat kami menuju tempat parkir. Kebanggaan itu mungkin harus kulepas karena memang bukan hakku, tetapi sebagai gantinya aku seperti menemukan sesuatu yang lebih penting, yang selama ini hilang, atau lebih tepatnya, tanpa sadar telah kusingkirkan. “Kau juara, Nak. Bapakmu malah tinggal kelas. Tapi ngga apa-apa. Bapak akan belajar lagi dari awal…” ***** Sambil nyetir, aku menghubungi istri, biar dia dan dua adik Echa siap-siap. “Kita makan-makan ya, Mak, Echa juara lho!” “Oiya? Siapa dulu dong Ibunya!” Speaker ponselku seperti mau retak dihantam suara penuh kebanggan itu. Memang berjodohlah kita. Naifnya klop! “Justru itu, tadi rupanya sudah disiapkan jadwal buat Ibunda Echa, untuk menyampaikan pidato sambutan, sekaligus pengarahan kepada para orang tua murid, bagaimana cara mendidik anak menjadi juara. Tapi karena Ibunda Echa ngga ada, terpaksa diganti dengan atraksi Barongsai.” “Sayang ya, Pak. Kalau gitu, Bapak cepatlah kemari, bawa perlengkapan. Mamak mau gelar konferensi pers!” “Oh, maaf, Bu, media kami ngga terbit besok, untuk menghormati keberhasilan Echa.” Di sebelahku, Echa tak mau ambil pusing dengan percakapan penuh ilusi, antara ayah dan ibunya. Bante kalianlah situ. Toh cakap ilusi masih lebih baik dari cakap emosi. Sepanjang jalan, dia masih saja memelototi daftar peringkat itu. Selisih tiga nilai saja! Ingin rasanya kuhibur dia. “Jangan sedih, Kak. Yang juara satu itu mungkin masih ada hubungan keluarga sama yang punya sekolah. Wajarlah dia juara!” Tapi tadi aku sudah berjanji, tidak mencekokinya racun lebih banyak lagi. Tak bisa mendidik, mbok ya jangan merusak. Tak bisa membantunya tumbuh, setidaknya jangan membuatnya rubuh. Di luar kulihat orang bersimbah peluh, ditampar matahari yang bersinar penuh. Hari sudah berlalu separuh. Please Like and Share !!
Labels:
Elumor,
Murah,
Pelangsing
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment